Rabu, 29 September 2010

Kerahasiaan Data Pelanggan Telekomunikasi

“Selamat Pagi Pak, saya dari Bank ABC ingin menawarkan layanan kartu kredit pada Bapak karena dari data yang saya terima, Bapak adalah pelanggan yang sangat aktif di XYZsel” ujar Icha yang mengaku sebagai sales officer dari sebuah Bank Asing terkemuka kepada seorang pelanggan telekomunikasi baru-baru ini. Hal seperti ini sangat sering terjadi kepada banyak pelanggan seluler. Kepercayaan seorang pelanggan kepada operator sering disalahgunakan dengan membagi-bagikan data pelanggan tersebut kepada pihak ketiga. Hal inilah yang akan menjadi pokok bahasan pada artikel ini yang antara lain membahas peraturan terkait jaminan kerahasiaan data pelanggan dan bagaimana seharusnya operator bersikap terhadap peraturan tersebut.
  
Ketentuan mengenai data pelanggan antara lain diatur di Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 42 :
  1. Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya 
  2. Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas : a.   permintaan tertulis dari Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b.   permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. 
Kemudian diatur lebih spesifik di Peraturan Menkominfo No. 23/M.KOMINFO/10/2005 tentang Registrasi Terhadap Pelanggan Jasa Telekomunikasi Pasal 5 :
  1. Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyimpan identitas pelanggan jasa telekomunikasi prabayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) selama pelanggan jasa telekomunikasi aktif menggunakan jasa telekomunikasi dimaksud. 
  2. Dalam hal pelanggan jasa telekomunikasi prabayar tidak aktif lagi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyimpan identitas pelanggan jasa telekomunikasi prabayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal dimulai ketidak aktifan pelanggan jasa dimaksud.
  3. Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan data pelanggan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b dalam rangka perlindungan hak-hak privat pelanggan.
  4. Dikecualikan dari ketentuan ayat (3), penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyerahkan identitas pelanggan jasa telekomunikasi prabayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) atas permintaan : a.   Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk proses peradilan tindak pidana terkait.b.   Menteri yang membidangi telekomunikasi untuk keperluan kebijakan di bidang telekomunikasi.Penyidik untuk proses peradilan tindak pidana tertentu lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Penyelenggara telekomunikasi harus ekstra waspada karena Menkominfo melarang perusahaan penyelenggara telekomunikasi untuk memberikan data nomor pelanggan maupun data lain yang terkait dengan pelanggan kepada pelaksana kampanye dan/atau Content Provider ("CP"). Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Menkominfo No. 11/PER/M.KOMINFO/2/2009 tentang Kampanye Pemilihan Umum Melalui Jasa Telekomunikasi. Ditjen Postel dan BRTI juga sepakat untuk melarang penyelenggara telekomunikasi memberikan data nomor pelanggan kepada pelaksana kampanye dan/atau CP.

Kampanye pemilu  dapat menggunakan layanan jasa teleponi dasar dan fasilitas layanan tambahannya yang antara lain jasa pesan singkat (SMS) dan jasa pesan multimedia (Multimedia Messaging Service / MMS), jasa nilai tambah teleponi, dan/atau jasa multimedia. Apabila perusahaan telekomunikasi menemukan adanya dugaan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, perusahaan wajib menghentikan kerjasama dengan pelaksana kampanye dan/atau dengan CP dan yang lebih penting lagi adalah penyelenggara telekomunikasi dilarang memberikan data nomor pelanggan jasa telekomunikasi maupun data lain yang terkait dengan pelanggan jasa telekomunikasi kepada pelaksana kampanye dan/atau CP. Pada 24 Juli 2008 diselenggarakan pertemuan antara Ditjen Postel, anggota BRTI dengan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang membahas mengenai adanya pelangganan layanan SMS untuk kegiatan kampanye. Pelangganan layanan SMS untuk kegiatan kampanye ini dimungkinkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 89 :
  1. Pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye dapat dilakukan melalui media massa cetak dan lembaga penyiaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  2. Pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam rangka penyampaian pesan kampanye Pemilu oleh Peserta Pemilu kepada masyarakat. 
  3. Pesan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa tulisan, suara, gambar, tulisan dan gambar, atau suaran dan gambar, yang brsifat naratif, grafis, karakter, interaktif atau tidak interaktif, serta yang dapat diterima melalui perangkat penerima pesan.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas yang sangat jelas dan kuat aspek legalnya, penyelenggara telekomunikasi harus ekstra waspada terhadap kegiatan-kegiatan promosi, marketing atau kegiatan apapun yang berkaitan dengan pihak ketiga, yang berkaitan dengan data pelanggan karena jika sampai terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan diatas mengenai kerahasiaan data pelanggan, maka pelanggan yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan hukum sebagaimana disebut pada Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Telekomunikasi, yaitu atas kesalahan dan/atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi. Selain daripada itu, Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Ditjen Postel pun hanya mengetahui data jumlah yang teregistrasi terkini dari para operator/penyelenggara telekomunikasi dan sama sekali tidak menyimpan data identiitas pelanggan.

Selasa, 28 September 2010

Amicus Curiae

Amicus Curiae”, merupakan istilah Latin yang mungkin jarang terdengar di pengadilan Indonesia. Amicus curiae merupakan konsep hukum yang berasal dari tradisi hukum Romawi, yang kemudian berkembang dan dipraktikkan dalam tradisi common law, yang mengizinkan pengadilan untuk mengundang pihak ketiga untuk menyediakan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan isu-isu yang belum familiar.  Amicus curiae yang dalam bahasa Inggris disebut “friend of the court“, diartikan “someone who is not a party to the litigation, but who believes that the court’s decision may affect its interest”. Secara bebas, amicus curiae, amicus curiae disampaikan oleh seseorang yang tertarik dalam mempengaruhi hasil dari aksi, tetapi bukan merupakan pihak yang terlibat dalam suatu sengketa; seorang penasihat kepada pengadilan pada beberapa masalah hukum yang bukan merupakan pihak untuk kasus yang biasanya seseorang yang ingin mempengaruhi hasil perkara yang melibatkan masyarakat luas diterjemahkan sebagai ‘Sahabat Pengadilan’, dimana, pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. Dengan demikian, amicus curiae disampaikan oleh seseorang yang tertarik dalam mempengaruhi hasil dari aksi, tetapi bukan merupakan pihak yang terlibat dalam suatu sengketa; seorang penasihat kepada pengadilan pada beberapa masalah hukum yang bukan merupakan pihak untuk kasus yang biasanya seseorang yang ingin mempengaruhi hasil perkara yang melibatkan masyarakat luas

Untuk Indonesia, amicus curiae belum banyak dikenal dan digunakan, baik oleh akademisi maupun praktisi. Sampai saat ini, sedikit sekali amicus curiae yang diajukan di Pengadilan Indonesia, amicus curiae yang diajukan kelompok penggiat kemerdekaan pers yang mengajukan amicus curiae kepada Mahkamah Agung terkait dengan peninjauan kembali kasus majalah Time versus Soeharto dan amicus curiae dalam kasus “Upi Asmaradana” di Pengadilan Negeri Makasar, bahkan dalam kasus KPPU terbaru mengenai kartel fuel surcharge juga menggunakan hal tersebut, dimana amicus curiae diajukan sebagai tambahan informasi buat Majelis Hakim yang memeriksa perkara. Walaupun amicus curiae belum dikenal dalam sistem hukum Indonesia, namun dengan berpegangan pada ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, sebagai dasar hukum pengajuan amicus curiae, maka tidak berlebihan apabila mekanisme ini dapat digunakan sebagai salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mengklarifikasi prinsip-prinsip hukum dan konstitusi, terutama kasus-kasus yang melibatkan berbagai UU atau pasal yang kontroversial

Melalui Amicus Curiae ini, pihak ketiga dapat berpartisipasi dalam proses peradilan dalam rangka memberikan pandangan kepada Majelis Hakim tentang bagaimana pembuktian materiil suatu perkara.

Pelaksanaan Keputusan Badan Arbitrase Komersial Internasional Menurut Konvensi New York 1958

Salah satu fokus utama dalam Konvensi New York 1958, yakni Convetion on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards yang ditandatangani 10 Juni 1958 di kota New York. Ketika Konvensi ini lahir, para pakar arbitrase waktu itu mengakui bahwa Konvensi ini merupakan satu langkah perbaikan dalam hal pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri, khususnya di antara negara anggota Konvensi.
Konvensi New York mulai berlaku pada 2 Juni 1959. Konvensi ini hanya mensyaratkan tiga ratifikasi agar berlaku. Selanjutnya Konvensi akan berlaku tiga bulan sejak jumlah ratifikasi ketiga terpenuhi. Pada waktu meratifikasi atau mengikatkan diri (aksesi) terhadap konvensi, negara-negara dapat mengajukan persyaratan (reservasi) terhadap isi ketentuan Konvensi New York (pasal 1). Terdapat dua persyaratan yang diperkenankan, yang pertama adalah persyaratan resiprositas (reciprocity-reservation). Yang kedua adalah persyaratan komersial (commercial-reservation). Konsekuensi dari diajukannya persyaratan pertama, yaitu bahwa negara yang bersangkutan baru akan menerapkan ketentuan Konvensi apabila keputusan arbitrase tersebut dibuat di negara yang juga adalah anggota Konvensi New York. Apabila keputusan tersebut ternyata dibuat di negara yang bukan anggota, maka negara tersebut tidak akan menerapkan ketentuan Konvensi.
Persyaratan komersial berarti bahwa suatu negara yang telah meratifikasi Konvensi New York hanya akan menerapkan ketentuan Konvensi terhadap sengketa-sengketa “komersial” menurut hukum nasionalnya.


Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini:
Prinsip pertama, yakni Konvensi ini menerapkan prinsip pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri dan menempatkan keputusan tersebut pada kedudukan yang sama dengan keputusan peradilan nasional. Prinsip kedua, yakni Konvensi ini mengakui prinsip keputusan arbitrase yang mengikat tanpa perlu ditarik dalam keputusannya. Prinsip ketiga, yaitu Konvensi ini menghindari proses pelaksanaan ganda (double enforcement process). Prinsip keempat, Konvensi New York mensyaratkan penyederhanaan dokumentasi yang diberikan oleh pihak yang mencari pengakuan dan pelaksanaan Konvensi. Prinsip kelima, Konvensi New York lebih lengkap, lebih komprehensif daripada hukum nasional pada umumnya. Berbeda dengan hukum nasional pada umumnya yang hanya mengatur tentang pelaksanaan (enforcement) suatu keputusan pengadilan (termasuk arbitrase), Konvensi New York juga mengatur tentang pengakuan (recognition) terhadap suatu keputusan arbitrase.
Ketentuan utama Konvensi terdapat dalam pasal I, III dan V. Menurut pasal I, Konvensi berlaku terhadap putusan-putusan arbitrase yang dibuat dalam wilayah suatu negara selain daripada negara di mana pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase itu diminta dan berlaku terhadap putusan-putusan arbitrase yang bukan domestik di suatu negara di mana pengakuan dan pelaksanaannya diminta.
Pasal III mewajibkan setiap negara peserta untuk mengakui keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri mempunyai kekuatan hukum dan melaksanakannya sesuai dengan hukum (acara) nasional di mana keputusan tersebut akan dilaksanakan. Seperti telah dikemukakan diatas, ketentuan pasal ini hanya pokoknya saja tentang pelaksanaan keputusan arbitrase, tidak detail.  Konvensi hanya menyebutkan saja tentang daya mengikat suatu keputusan dan tentang bagaimana pelaksanaan atau eksekusinya. Konvensi tidak mengaturnya siapa pihak yang berwenang untuk mengeksekusi keputusan tersebut; Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.
Pasal V memuat tentang alasan-alasan yang dapat diajukan oleh para pihak untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase asing. Prinsipnya yaitu bahwa pihak yang mengajukan penolakan keputusan arbitrase harus mengajukan dan membuktikan alasan-alasan penolakan tersebut. Pasal ini memuat 7 alasan penolakan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase, yaitu: 

  1. Bahwa para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut ternyata menurut hukum nasionalnya tidak mampu atau menurut hukum yang mengatur perjanjian tersebut atau menurut hukum negara di mana keputusan tersebut dibuat apabila tidak ada petunjuk hukum mana yang berlaku.
  2. Pihak terhdap mana keputusan diminta tidak diberikan pemberitahuan yang sepatutnya tentang penunjukan arbitrator atau persidangan arbitrase atau tidak dapat mengajukan kasusnya. 
  3. Keputusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan untuk diputuskan oleh arbitrase, atau keputusan tersebut mengandung hal-hal yang berada di luar dari hal-hal yang seharusnya diputuskan, atau 
  4. Komposisi wewenang arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan persetujuan para pihak, atau, tidak sesuai dengan hukum nasional tempat arbitrase berlangsung, atau
  5.  Keputusan tersebut belum mengikat terhadap para pihak atau dikesampingkan atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang di negara di mana keputusan dibuat.
  6.  Pelaksanaan Konvensi New York Di Indonesia
Indonesia adalah juga anggota Konvensi New York dengan aksesi melalui Keputusan Presiden No.34 Tahun 1981, 5 Agustus 1981. Aksesi ini didaftar di Sekretaris Jenderal PBB 7 Oktober 1981. Indonesia hanya mengajukan persyaratan pertama saja, yaitu resiprositas (akses timbal baik). Meskipun Indonesia telah mengaksesi yang berarti pula bahwa ketentuan-ketentuan Konvensi tersebut mengikat Indonesia, namun ternyata di dalam pelaksanaannya kemudian masalah baru tentang pelaksanaan keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri muncul. Masalah baru ini berkisar kepada adanya dua pendapat yang saling bertentangan antara MA RI dengan para sarjana hukum ternama, khususnya Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama.
MA berpendapat bahwa meskipun pemerintah RI telah mengksesi Konvensi melalui Keppres No. 34 Tahun 1981, namun dengan adanya perundang-undangan tersebut tdiak serta merta berarti bahwa keputusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia. MA berpendapat, perlu adanya peraturan pelaksanaan dari Keppres tersebut agar pelaksanaan (eksekusi) suatu keputusan arbitrase asing dapat dilaksanakan.
Sebaliknya, Prof. Mr. Sudargo Gautama berpendapat bahwa Keppres tersebut tidak perlu dijabarkan oleh peraturan perundangan pelaksanaannya. Menurut beliau, sebuah Keppres tidak memerlukan peraturan pelaksanaan, berlainan dengan UU yang menentukan, untuk itu diperlukan peraturan pelaksanaan.

PELAKSANAAN KEPUTUSAN ARBITRASE ASING MENURUT PERATURAN MA NO. 1 TAHUN 1990
Pada tanggal 1 Maret 1990, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan MA No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
Pasal 2 dari peraturan tersebut memberi batasan arti Putusan Arbitrase Asing. Yakni, putusan yang dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, ataupun putusan suatu Badan arbitrase ataupun arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan Arbitrase Asing, yang berkekuatan hukum yang tetap sesuai dengan Keppres No. 34 tahun 1981.
Pasal 3 Peraturan MA memuat tentang syarat-syarat untuk dapat dilaksanakannya suatu Putusan Arbitrase Asing. Pasal ini merupakan guideline dalam menguji untuk dilaksanakan atau ditolaknya suatu Putusan Arbitrase. Suatu putusan arbitrase asing untuk dapat dilaksanakan di Indonesia harus memenuhi syarat-syarat berikut:

 
  •        Putusan itu dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter perorangan di suatu negara yang dengan negara Indonesia ataupun bersama-sama dengan negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi Internasional perihal pengakuan serta Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
  •        Putusan-putusan arbitrase asing di atas hanyalah terbatas pada putusan-putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup Hukum Dagang. 
  •        Putusan-putusan Arbitrase Asing di atas hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan-putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
  •      Suatu Putusan Arbitrase Asing dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh Exequatur dari Mahkamah Agung RI. 
Ditentukan pula bahwa exequatur tidak akan diberikan apabila putusan Arbitrase Asing itu nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia (ketertiban umum).

EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
Dewasa ini keputusan arbitrase asing pada prinsipnya sudah dapat dieksekusi di Indonesia. Pengakuan terhadap arbitrase asing di Indonesia, yang seyogianya tentu sudah dapat dieksekusi, telah terjadi sejak dikeluarkannya Keppres No. 34 Tahun 1981, yang mengesahkan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award, yang dikenal dengan New York Convention 1958.
UU Arbitrase di Indonesia, yaitu UU Arbitrase No. 30 Tahun 1999 mengatur bagaimanpa jika suatu putusan aerbitrase internasional dieksekusi di Indonesia, di mana beberpa ketentuan pokok pengaturan oleh UU Arbitrase No. 30 Tahun 1999 yang berhubungan dengan eksekusii terhadap suatu putusan dari arbitrase internasional adalah sebagai berikut:
a)   Yang Berwenang Menangani Eksekusi Arbitrase Internasional
Suatu putusan arbitrase internasional harus dilaksanakan di negara di mana pihak yang dimenangkan mempunyai kepentingan. Jika putusan tersebut harus dilaksanakan di Indonesia, siapakah yang berwenang dan bertanggung jawab melaksanakan putusan tersebut.
Hal ini ditemukan jawabannya dalam pasal 66 UU Arbitrase No. 30 tahun 1999. Di sana dikatakan bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan dan eksekusi dari putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam hal ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan memberikan suatu putusan Ketua Pengadilan Negeri dalam bentuk “Perintah Pelaksanaan” yang dalam praktek dikenal dengan sebutan “Eksekuatur”.
b)    Kapan Permohonan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dapat Dilaksanakan.
UU Arbitrase menentukan bahwa suatu putusan arbitrase internasional hanya dapat dijalankan jika putusan tersebut telah diserahkan dan didaftarkan kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (pasal 67 ayat 1).

     
     Dengan demikian, sekurang-kurangnya ada 4 emapt tahap dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing, yaitu sebagai berikut:
1.    Tahap penyerahan dan pendaftaran putusan.
2.    Tahap permohonan pelaksanaan putusan.
3.    Tahap perintah pelaksanaan oleh ketua Pengadilan Negeri (eksekuatur).
4.    Tahap pelaksanaan putusan arbitrase.
c)    Berkas Permohonan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional
Untuk dapat diberikan perintah pelaksanaan (eksekuatur) terhadap suatu putusan arbitrase internasional, harus terlebih dahulu diajukan berkas-berkas permohonan eksekusi yang berisikan hal-hal sebagai berikut:
1.   Permohonan pelaksanaan eksekusi.
2.   Lembar asli atau salinan otentik dari putusan arbirase tersebut.
3.  Terjemahan resmi dari putusan aribrase ke dalam bahasa Indonesia dari putusan tersebut.
4.  Lembar asli atau salinan otentik dari kontrak yang menjadi dasar putusan arbitrase.
5. Terjemahan resmi ke dalam bahasa Indonesia dari kontrak ayang menjadi dasar putusan arbitrase.
6.  Surat keterangan dari perwakilan diplomatik RI di negara di mana diputuskan, yang menyatakan bahawa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral ataupun secara multilateral dengan negara RI tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
d)  Upaya Hukum terhadap Putusan Ketua Pengadilan Domestik tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. Terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri domestik, in casu ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional, dalam hal-hal tertentu dapat diajukan upaya hukum tertentu. Dalam hal ini upaya hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1.  Terhadap Putusan Ketua Pengadilan Negeri Menerima Eksekusi.
Putusan ketua Pengadilan Negeri yang menerima dan memerintahkan eksekusi putusan arbitrase bersifat final sehingga terhadapnya tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
2. Terhadap Putusan Ketua Pengadilan Negeri menolak Eksekusi. Terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan eksekusi putusan arbitrase internasional masih tersedia upaya hukum berupa kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung harus sudah memutuskan permohonan kasasi ini dalam jangka waktu 90 hari sejak diterimanya permohonan kasasi oleh Mahkamah Agung (pasal 68 ayat 3). Putusan MA ini sudah bersifat final tanpa ada upaya hukum apapun termasuk upaya Peninjauan Kembali (PK).
3.  Terhadap Putusan Eksekuatur Mahkamah Agung. Terhadap putusan pelaksanaan/menolak pelaksanaan putusan arbitrase oleh Mahkamah Agung (dalam hal negara terlibat sebagai salah satu pihak dalam sengketa tersebut), baik yang menerima atau yang menolak eksekusi, tidak tersedia upaya hukum apa pun termasuk upaya perlawanan atau peninjauan kembali (PK).
e)  Pelimpahan Kewenangan Eksekusi Kepada Pengadilan Yang Berwengan Secara Relatif. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat melaksanakan sendiri putusan eksekusinya (dalam hal ini menjadi kewenangan relatif dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat). Akan tetapi, jika eksekusi menjadi kewenangan Pengadilan Negeri lain, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mendelegasi kewenangan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan Negeri di mana keberadaan benda tidak bergerak menjadi objek eksekusi.
f)  Sita Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional.Terhadap aset-aset milik termohon eksekusi dapat diletakkan sita eksekusi. Tata cara mengenai sita eksekusi ini berlaku ketentuan dalam hukum acara perdata.
g)   Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional.
UU Arbitrase No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa bagaimana tata cara pelaksanaan eksekusi terhadap suatu putusan arbitrase internasional, selain dari yang tealh ditentukan dalam UU tersebut, berlaku ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan eksekusi dalam hukum acara perdata yang umum (pasal 69 ayat 3).

Eksonerasi

Pernahkah terpikir oleh kita bagaimana jika kendaraan kita hilang di tempat parkir ? Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang dibuat dengan tujuan untuk melindungi konsumen -yang dalam perdagangan posisinya lemah- sudah mengatur hal ini. Akan tetapi dalam penerapannya, UUPK khususnya pasal 18 masih belum berjalan efektif sebagaimana mestinya karena masih saja ada pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku yang sifatnya dapat merugikan konsumen atau klausula baku yang dilarang oleh UU (eksonerasi) di nota pembelian. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai klausula baku secara umum.

Pengertian klausula baku terdapat dalam UUPK pasal 1 butir 10 yang menyatakan ”Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Syarat-syarat khusus untuk pembebas diri dari beban tanggungjawab berdasarkan hukum pada umumnya, karena terjadinya sesuatu perihal atau kejadian tertentu sepanjang masa perjanjian, disebut sebagai syarat-syarat baku.

Berdasarkan uraian di atas, bentuk perikatan dengan syarat-syarat baku ini umumnya dapat ditemukan dalam bentuk :
a.   Klausula
Bentuk ini banyak dijumpai pada kuitansi, dalam kemasan barang atau tercantum dalam tempat produk tertentu, tanda-tanda penjualan, tiket atau karcis perjalanan, tanda parkir, tanda penitipan barang bahkan dicantumkan dalam papan-papan pengumuman. Sebagian pihak berpendapat bahwa sistem klausula baku ini tidak bertentangan dengan asas-asas perikatan, terutama dalam hal kebebasan berkontrak, sebagaimana ditemui dalam Pasal 1338 dan 1320 KUHPerdata tetapi ada beberapa ahli yang mengemukakan bahwa klausula baku bukan termasuk perjanjian karena kedudukan pelaku usaha dalam perjanjian yang berisikan syarat-syarat itu dapat dikatakan seperti legio particuliere wetgever (pembuat undang-undang swasta). Pelaku usaha mengatur hak-haknya yang menguntungkan, tetapi tidak kewajibannya, oleh karena itu praktik-praktik demikian perlu ditertibkan. Mengenai larangan pencantuman klausula baku, Pasal 18 UUPK menyatakan sebagai berikut :
1.  Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan / atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :
a.    Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
b.   Menyatakan pelaku usaha berhak menolak pengembalian barang yang telah dibeli konsumen;
c.   Menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang sudah dibeli oleh konsumen;
d.   Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.   Mengatur tentang pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau jasa yang dibeli konsumen;
f.    Memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau harta konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
g.   Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berwujud sebagai aturan baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.   Menyatakan konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli secara angsuran.
2.   Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas yang pengungkapannya sulit dimengerti;
3.   Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
4.   Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.
b.   Perjanjian
Salah satu wujud klausula baku adalah dalam bentuk perjanjian. Hal ini terjadi misalnya, suatu perjanjian atau konsep perjanjian itu sudah dibuat terlebih dahulu sedemikian rupa oleh penjual/pelaku usaha yang didalamnya termuat persyaratan-persyaratan khusus dengan tujuan efektifitas waktu karena klausula-klausula tersebut sudah sering dipakai. Akan tetapi dalam kenyataannya seringkali menyalahi ketentuan umum yang berlaku karena seringkali ditemukan klausula baku yang menyangkut ganti rugi, pembebasan dari tanggungjawab atau menyangkut jaminan-jaminan tertentu. Karena yang membuat dan mempersiapkannya adalah pihak penjual/pelaku usaha, maka klausula baku tentu dibuat atas dasar yang lebih menguntungkan baginya.


Klausula Baku sendiri diartikan secara berbeda-beda. Mariam Darus Badarulzaman menyebutnya dengan klausul eksonerasi, sebagai terjemahan dari exoneratie clause. Remy Sjahdeini menyebutnya dengan istilah klausula eksemsi, sedangkan Barnes menyebutnya dengan istilah Exculpatory Clause. Exculpatory Clause menurut Barnes adalah “a provision in a contract that attempts to relieve one party to the contract from liability for the consequences of his or her own negligence”. Shidarta membedakan antara klausula baku dengan klausula eksonerasi yaitu bahwa, kalau dalam klausula baku, yang ditekankan adalah mengenai prosedur pembuatannya yang sepihak dan bukan mengenai isinya, sedangkan dalam hal eksonerasi yang dipersoalkan adalah menyangkut substansinya, yakni mengalihkan kewajiban atau tanggungjawab pelaku usaha. Terlepas dari istilah yang dipergunakan oleh para pakar hukum tersebut, klausula eksonerasi adalah klausula yang digunakan dengan tujuan pada dasarnya untuk membebaskan atau membatasi tanggungjawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya, dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam perjanjian tersebut. Menanggapi keberadaan klausula eksonerasi dalam hubungannya dengan perlindungan konsumen, Nik Ramlah Mahmood mengemukakan sebagai berikut Clauses in standard form contracts which exempt or limit a contracting party’s liability for certain breaches of the expressed or implied terms of the contract or for the commission of a tort, operate extremely harshly against, and to the detriment of, consumers. Such clauses are found at the back of tickets of public transport, on receipt and other types of standard form consumer contracts”. R.H.J. Engels menyebut adanya 3 (tiga) faktor dari perjanjian dengan klausula eksonerasi yaitu sebagai berikut :
a.   Tanggungjawab untuk akibat-akibat hukum, karena kurang baik dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban perjanjian.
b.  Kewajiban-kewajiban sendiri yang biasanya dibebankan kepada pihak untuk mana syarat dibuat, dibatasi atau dihapuskan (misalnya, perjanjian keadaan darurat).
c.  Kewajiban-kewajiban diciptakan (syarat-syarat pembebasan) oleh salah satu pihak dibebankan dengan memikulkan tanggungjawab yang lain yang mungkin ada untuk kerugian yang diderita pihak ketiga. 
Perjanjian eksonerasi yang membebaskan tanggungjawab seseorang pada akibat-akibat hukum yang terjadi karena kurangnya pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh perundang-undangan, antara lain tentang masalah gantirugi dalam hal perbuatan ingkar janji. Ganti rugi tidak dijalankan apabila persyaratan eksonerasi mencantumkan hal itu.
Pasal 18 ayat (1) khususnya yang menyangkut Huruf a tersebut di atas, telah diterapkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui suatu sengketa konsumen antara Anny R. Gultom dan Hontas Tambunan, konsumen sebagai Penggugat melawan PT Securindo Packatama Indonesia (Secure Parking), pelaku usaha sebagai Tergugat, dengan putusannya tanggal 26 Juni 2001 No. 551/Put.G/2000/PN Jkt.Pst. Klausula yang dibuat oleh Tergugat dalam karcis parkir adalah “Pihak Pengelola tidak bertangungjawab atas kehilangan, kerusakan, kecelakaan kendaraan atau barang-barang yang terdapat dalam kendaraan di areal parkir pihak pengelola”. Majelis Hakim yang diketuai oleh Andi Samsan Nganro berpendapat bahwa klausula tersebut merupakan perjanjian becacat hukum, karena timbul dari ketidakbebasan pihak yang menerima klausul, sebab ketika pengendara mobil memasuki areal parkir ia tidak mempunyai pilihan selain parkir di situ. Ini merupakan kesepakatan berat sebelah, karena kesepakatan itu diterima seolah-olah dalam keadaan terpaksa oleh pihak pengendara. Oleh karena usaha yang dikelola pihak Tergugat adalah jasa perparkiran yang besifat professional dan secure parking, maka sudah seharusnya berkewajiban menjaga keamanan atas kendaraan dalam areal perparkiran yang dikelolalanya. Hakim dalam putusannya tersebut menghukum Tergugat untuk memberikan gantirugi atas kehilangan kendaraan (Toyota Kijang) yang menimpa Penggugat di areal perparkiran yang dikelola oleh Tergugat di Plaza Cempaka Mas, Jakarta Pusat. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut, adalah sangat penting dan dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku usaha yang selalu menggunakan klausula baku sebagai bentuk pemanfaatan atau penylahgunaan keadaan, dimana konsumen berada dalam posisi tawar yang lemah vis a vis pelaku usaha. Putusan tersebut sangat kontras dengan apa yang sebenarnya hendak dicapai oleh pelaku usaha, dengan menggunakan klausula baku. Tak dapat dipungkiri, bahwa pelaku usaha dalam merumuskan klausula baku seperti itu, adalah bermaksud untuk mengalihkan tanggungjawabnya kepada orang lain, dalam hal ini konsumen. Atau, pelaku usaha setidak-tidaknya menghindarkan diri dari tanggungjawab untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen dalam hal konsumen menderita kehilangan kendaraan di areal parkir pelaku usaha. 
Memang, hukum yang baik harus pula dibarengi dengan penegakan hukum yang baik. Tidaklah ada artinya jika kita hanya mempunyai undang-undang yang baik dan modern serta demokratis, namun tidak terimplementasikan dalam praktik penegakan hukum. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan upaya perlindungan terhadap konsumen, kita membutuhkan undang-undang yang baik dan modern akan tetapi  yang lebih penting lagi adalah kita memerlukan aparat penegak hukum dan praktisi hukum yang baik pula.

Pada dasarnya Klausula Baku tidak dilarang sepanjang tidak melanggar ketentuan dari UUPK. Pelaku Usaha yang menggunakan klausula baku, disyaratkan agar letak dan bentuk klausula baku tersebut tidak sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, termasuk mengenai pengungkapannya agar tidak sulit dimengerti. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 18, diancam hukuman pidana penjara maksimum lima tahun atau pidana denda maksimum Rp. 2 miliar. Ketentuan ini diatur dalam pasal 62 ayat 1 yang menentukan “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000 (dua miliar rupiah). Sebaliknya, tentu saja pelaku usaha tidak dapat disalahkan atau dituntut bilamana pelaku usaha menggunakan klausula baku yang sesuai dengan ketentuan Pasal 18 UUPK tersebut. Nampaknya pembuat undang-undang bermaksud menciptakan kesetaraan dan keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen dalam kaitannya dengan pencantuman klausula baku tersebut, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak.