Selasa, 28 September 2010

Pelaksanaan Keputusan Badan Arbitrase Komersial Internasional Menurut Konvensi New York 1958

Salah satu fokus utama dalam Konvensi New York 1958, yakni Convetion on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards yang ditandatangani 10 Juni 1958 di kota New York. Ketika Konvensi ini lahir, para pakar arbitrase waktu itu mengakui bahwa Konvensi ini merupakan satu langkah perbaikan dalam hal pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri, khususnya di antara negara anggota Konvensi.
Konvensi New York mulai berlaku pada 2 Juni 1959. Konvensi ini hanya mensyaratkan tiga ratifikasi agar berlaku. Selanjutnya Konvensi akan berlaku tiga bulan sejak jumlah ratifikasi ketiga terpenuhi. Pada waktu meratifikasi atau mengikatkan diri (aksesi) terhadap konvensi, negara-negara dapat mengajukan persyaratan (reservasi) terhadap isi ketentuan Konvensi New York (pasal 1). Terdapat dua persyaratan yang diperkenankan, yang pertama adalah persyaratan resiprositas (reciprocity-reservation). Yang kedua adalah persyaratan komersial (commercial-reservation). Konsekuensi dari diajukannya persyaratan pertama, yaitu bahwa negara yang bersangkutan baru akan menerapkan ketentuan Konvensi apabila keputusan arbitrase tersebut dibuat di negara yang juga adalah anggota Konvensi New York. Apabila keputusan tersebut ternyata dibuat di negara yang bukan anggota, maka negara tersebut tidak akan menerapkan ketentuan Konvensi.
Persyaratan komersial berarti bahwa suatu negara yang telah meratifikasi Konvensi New York hanya akan menerapkan ketentuan Konvensi terhadap sengketa-sengketa “komersial” menurut hukum nasionalnya.


Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini:
Prinsip pertama, yakni Konvensi ini menerapkan prinsip pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri dan menempatkan keputusan tersebut pada kedudukan yang sama dengan keputusan peradilan nasional. Prinsip kedua, yakni Konvensi ini mengakui prinsip keputusan arbitrase yang mengikat tanpa perlu ditarik dalam keputusannya. Prinsip ketiga, yaitu Konvensi ini menghindari proses pelaksanaan ganda (double enforcement process). Prinsip keempat, Konvensi New York mensyaratkan penyederhanaan dokumentasi yang diberikan oleh pihak yang mencari pengakuan dan pelaksanaan Konvensi. Prinsip kelima, Konvensi New York lebih lengkap, lebih komprehensif daripada hukum nasional pada umumnya. Berbeda dengan hukum nasional pada umumnya yang hanya mengatur tentang pelaksanaan (enforcement) suatu keputusan pengadilan (termasuk arbitrase), Konvensi New York juga mengatur tentang pengakuan (recognition) terhadap suatu keputusan arbitrase.
Ketentuan utama Konvensi terdapat dalam pasal I, III dan V. Menurut pasal I, Konvensi berlaku terhadap putusan-putusan arbitrase yang dibuat dalam wilayah suatu negara selain daripada negara di mana pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase itu diminta dan berlaku terhadap putusan-putusan arbitrase yang bukan domestik di suatu negara di mana pengakuan dan pelaksanaannya diminta.
Pasal III mewajibkan setiap negara peserta untuk mengakui keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri mempunyai kekuatan hukum dan melaksanakannya sesuai dengan hukum (acara) nasional di mana keputusan tersebut akan dilaksanakan. Seperti telah dikemukakan diatas, ketentuan pasal ini hanya pokoknya saja tentang pelaksanaan keputusan arbitrase, tidak detail.  Konvensi hanya menyebutkan saja tentang daya mengikat suatu keputusan dan tentang bagaimana pelaksanaan atau eksekusinya. Konvensi tidak mengaturnya siapa pihak yang berwenang untuk mengeksekusi keputusan tersebut; Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.
Pasal V memuat tentang alasan-alasan yang dapat diajukan oleh para pihak untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase asing. Prinsipnya yaitu bahwa pihak yang mengajukan penolakan keputusan arbitrase harus mengajukan dan membuktikan alasan-alasan penolakan tersebut. Pasal ini memuat 7 alasan penolakan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase, yaitu: 

  1. Bahwa para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut ternyata menurut hukum nasionalnya tidak mampu atau menurut hukum yang mengatur perjanjian tersebut atau menurut hukum negara di mana keputusan tersebut dibuat apabila tidak ada petunjuk hukum mana yang berlaku.
  2. Pihak terhdap mana keputusan diminta tidak diberikan pemberitahuan yang sepatutnya tentang penunjukan arbitrator atau persidangan arbitrase atau tidak dapat mengajukan kasusnya. 
  3. Keputusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan untuk diputuskan oleh arbitrase, atau keputusan tersebut mengandung hal-hal yang berada di luar dari hal-hal yang seharusnya diputuskan, atau 
  4. Komposisi wewenang arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan persetujuan para pihak, atau, tidak sesuai dengan hukum nasional tempat arbitrase berlangsung, atau
  5.  Keputusan tersebut belum mengikat terhadap para pihak atau dikesampingkan atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang di negara di mana keputusan dibuat.
  6.  Pelaksanaan Konvensi New York Di Indonesia
Indonesia adalah juga anggota Konvensi New York dengan aksesi melalui Keputusan Presiden No.34 Tahun 1981, 5 Agustus 1981. Aksesi ini didaftar di Sekretaris Jenderal PBB 7 Oktober 1981. Indonesia hanya mengajukan persyaratan pertama saja, yaitu resiprositas (akses timbal baik). Meskipun Indonesia telah mengaksesi yang berarti pula bahwa ketentuan-ketentuan Konvensi tersebut mengikat Indonesia, namun ternyata di dalam pelaksanaannya kemudian masalah baru tentang pelaksanaan keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri muncul. Masalah baru ini berkisar kepada adanya dua pendapat yang saling bertentangan antara MA RI dengan para sarjana hukum ternama, khususnya Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama.
MA berpendapat bahwa meskipun pemerintah RI telah mengksesi Konvensi melalui Keppres No. 34 Tahun 1981, namun dengan adanya perundang-undangan tersebut tdiak serta merta berarti bahwa keputusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia. MA berpendapat, perlu adanya peraturan pelaksanaan dari Keppres tersebut agar pelaksanaan (eksekusi) suatu keputusan arbitrase asing dapat dilaksanakan.
Sebaliknya, Prof. Mr. Sudargo Gautama berpendapat bahwa Keppres tersebut tidak perlu dijabarkan oleh peraturan perundangan pelaksanaannya. Menurut beliau, sebuah Keppres tidak memerlukan peraturan pelaksanaan, berlainan dengan UU yang menentukan, untuk itu diperlukan peraturan pelaksanaan.

PELAKSANAAN KEPUTUSAN ARBITRASE ASING MENURUT PERATURAN MA NO. 1 TAHUN 1990
Pada tanggal 1 Maret 1990, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan MA No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
Pasal 2 dari peraturan tersebut memberi batasan arti Putusan Arbitrase Asing. Yakni, putusan yang dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, ataupun putusan suatu Badan arbitrase ataupun arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan Arbitrase Asing, yang berkekuatan hukum yang tetap sesuai dengan Keppres No. 34 tahun 1981.
Pasal 3 Peraturan MA memuat tentang syarat-syarat untuk dapat dilaksanakannya suatu Putusan Arbitrase Asing. Pasal ini merupakan guideline dalam menguji untuk dilaksanakan atau ditolaknya suatu Putusan Arbitrase. Suatu putusan arbitrase asing untuk dapat dilaksanakan di Indonesia harus memenuhi syarat-syarat berikut:

 
  •        Putusan itu dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter perorangan di suatu negara yang dengan negara Indonesia ataupun bersama-sama dengan negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi Internasional perihal pengakuan serta Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
  •        Putusan-putusan arbitrase asing di atas hanyalah terbatas pada putusan-putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup Hukum Dagang. 
  •        Putusan-putusan Arbitrase Asing di atas hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan-putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
  •      Suatu Putusan Arbitrase Asing dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh Exequatur dari Mahkamah Agung RI. 
Ditentukan pula bahwa exequatur tidak akan diberikan apabila putusan Arbitrase Asing itu nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia (ketertiban umum).

EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
Dewasa ini keputusan arbitrase asing pada prinsipnya sudah dapat dieksekusi di Indonesia. Pengakuan terhadap arbitrase asing di Indonesia, yang seyogianya tentu sudah dapat dieksekusi, telah terjadi sejak dikeluarkannya Keppres No. 34 Tahun 1981, yang mengesahkan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award, yang dikenal dengan New York Convention 1958.
UU Arbitrase di Indonesia, yaitu UU Arbitrase No. 30 Tahun 1999 mengatur bagaimanpa jika suatu putusan aerbitrase internasional dieksekusi di Indonesia, di mana beberpa ketentuan pokok pengaturan oleh UU Arbitrase No. 30 Tahun 1999 yang berhubungan dengan eksekusii terhadap suatu putusan dari arbitrase internasional adalah sebagai berikut:
a)   Yang Berwenang Menangani Eksekusi Arbitrase Internasional
Suatu putusan arbitrase internasional harus dilaksanakan di negara di mana pihak yang dimenangkan mempunyai kepentingan. Jika putusan tersebut harus dilaksanakan di Indonesia, siapakah yang berwenang dan bertanggung jawab melaksanakan putusan tersebut.
Hal ini ditemukan jawabannya dalam pasal 66 UU Arbitrase No. 30 tahun 1999. Di sana dikatakan bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan dan eksekusi dari putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam hal ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan memberikan suatu putusan Ketua Pengadilan Negeri dalam bentuk “Perintah Pelaksanaan” yang dalam praktek dikenal dengan sebutan “Eksekuatur”.
b)    Kapan Permohonan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dapat Dilaksanakan.
UU Arbitrase menentukan bahwa suatu putusan arbitrase internasional hanya dapat dijalankan jika putusan tersebut telah diserahkan dan didaftarkan kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (pasal 67 ayat 1).

     
     Dengan demikian, sekurang-kurangnya ada 4 emapt tahap dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing, yaitu sebagai berikut:
1.    Tahap penyerahan dan pendaftaran putusan.
2.    Tahap permohonan pelaksanaan putusan.
3.    Tahap perintah pelaksanaan oleh ketua Pengadilan Negeri (eksekuatur).
4.    Tahap pelaksanaan putusan arbitrase.
c)    Berkas Permohonan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional
Untuk dapat diberikan perintah pelaksanaan (eksekuatur) terhadap suatu putusan arbitrase internasional, harus terlebih dahulu diajukan berkas-berkas permohonan eksekusi yang berisikan hal-hal sebagai berikut:
1.   Permohonan pelaksanaan eksekusi.
2.   Lembar asli atau salinan otentik dari putusan arbirase tersebut.
3.  Terjemahan resmi dari putusan aribrase ke dalam bahasa Indonesia dari putusan tersebut.
4.  Lembar asli atau salinan otentik dari kontrak yang menjadi dasar putusan arbitrase.
5. Terjemahan resmi ke dalam bahasa Indonesia dari kontrak ayang menjadi dasar putusan arbitrase.
6.  Surat keterangan dari perwakilan diplomatik RI di negara di mana diputuskan, yang menyatakan bahawa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral ataupun secara multilateral dengan negara RI tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
d)  Upaya Hukum terhadap Putusan Ketua Pengadilan Domestik tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. Terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri domestik, in casu ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional, dalam hal-hal tertentu dapat diajukan upaya hukum tertentu. Dalam hal ini upaya hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1.  Terhadap Putusan Ketua Pengadilan Negeri Menerima Eksekusi.
Putusan ketua Pengadilan Negeri yang menerima dan memerintahkan eksekusi putusan arbitrase bersifat final sehingga terhadapnya tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
2. Terhadap Putusan Ketua Pengadilan Negeri menolak Eksekusi. Terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan eksekusi putusan arbitrase internasional masih tersedia upaya hukum berupa kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung harus sudah memutuskan permohonan kasasi ini dalam jangka waktu 90 hari sejak diterimanya permohonan kasasi oleh Mahkamah Agung (pasal 68 ayat 3). Putusan MA ini sudah bersifat final tanpa ada upaya hukum apapun termasuk upaya Peninjauan Kembali (PK).
3.  Terhadap Putusan Eksekuatur Mahkamah Agung. Terhadap putusan pelaksanaan/menolak pelaksanaan putusan arbitrase oleh Mahkamah Agung (dalam hal negara terlibat sebagai salah satu pihak dalam sengketa tersebut), baik yang menerima atau yang menolak eksekusi, tidak tersedia upaya hukum apa pun termasuk upaya perlawanan atau peninjauan kembali (PK).
e)  Pelimpahan Kewenangan Eksekusi Kepada Pengadilan Yang Berwengan Secara Relatif. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat melaksanakan sendiri putusan eksekusinya (dalam hal ini menjadi kewenangan relatif dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat). Akan tetapi, jika eksekusi menjadi kewenangan Pengadilan Negeri lain, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mendelegasi kewenangan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan Negeri di mana keberadaan benda tidak bergerak menjadi objek eksekusi.
f)  Sita Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional.Terhadap aset-aset milik termohon eksekusi dapat diletakkan sita eksekusi. Tata cara mengenai sita eksekusi ini berlaku ketentuan dalam hukum acara perdata.
g)   Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional.
UU Arbitrase No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa bagaimana tata cara pelaksanaan eksekusi terhadap suatu putusan arbitrase internasional, selain dari yang tealh ditentukan dalam UU tersebut, berlaku ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan eksekusi dalam hukum acara perdata yang umum (pasal 69 ayat 3).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar