Selasa, 28 September 2010

Eksonerasi

Pernahkah terpikir oleh kita bagaimana jika kendaraan kita hilang di tempat parkir ? Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang dibuat dengan tujuan untuk melindungi konsumen -yang dalam perdagangan posisinya lemah- sudah mengatur hal ini. Akan tetapi dalam penerapannya, UUPK khususnya pasal 18 masih belum berjalan efektif sebagaimana mestinya karena masih saja ada pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku yang sifatnya dapat merugikan konsumen atau klausula baku yang dilarang oleh UU (eksonerasi) di nota pembelian. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai klausula baku secara umum.

Pengertian klausula baku terdapat dalam UUPK pasal 1 butir 10 yang menyatakan ”Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Syarat-syarat khusus untuk pembebas diri dari beban tanggungjawab berdasarkan hukum pada umumnya, karena terjadinya sesuatu perihal atau kejadian tertentu sepanjang masa perjanjian, disebut sebagai syarat-syarat baku.

Berdasarkan uraian di atas, bentuk perikatan dengan syarat-syarat baku ini umumnya dapat ditemukan dalam bentuk :
a.   Klausula
Bentuk ini banyak dijumpai pada kuitansi, dalam kemasan barang atau tercantum dalam tempat produk tertentu, tanda-tanda penjualan, tiket atau karcis perjalanan, tanda parkir, tanda penitipan barang bahkan dicantumkan dalam papan-papan pengumuman. Sebagian pihak berpendapat bahwa sistem klausula baku ini tidak bertentangan dengan asas-asas perikatan, terutama dalam hal kebebasan berkontrak, sebagaimana ditemui dalam Pasal 1338 dan 1320 KUHPerdata tetapi ada beberapa ahli yang mengemukakan bahwa klausula baku bukan termasuk perjanjian karena kedudukan pelaku usaha dalam perjanjian yang berisikan syarat-syarat itu dapat dikatakan seperti legio particuliere wetgever (pembuat undang-undang swasta). Pelaku usaha mengatur hak-haknya yang menguntungkan, tetapi tidak kewajibannya, oleh karena itu praktik-praktik demikian perlu ditertibkan. Mengenai larangan pencantuman klausula baku, Pasal 18 UUPK menyatakan sebagai berikut :
1.  Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan / atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :
a.    Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
b.   Menyatakan pelaku usaha berhak menolak pengembalian barang yang telah dibeli konsumen;
c.   Menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang sudah dibeli oleh konsumen;
d.   Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.   Mengatur tentang pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau jasa yang dibeli konsumen;
f.    Memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau harta konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
g.   Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berwujud sebagai aturan baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.   Menyatakan konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli secara angsuran.
2.   Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas yang pengungkapannya sulit dimengerti;
3.   Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
4.   Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.
b.   Perjanjian
Salah satu wujud klausula baku adalah dalam bentuk perjanjian. Hal ini terjadi misalnya, suatu perjanjian atau konsep perjanjian itu sudah dibuat terlebih dahulu sedemikian rupa oleh penjual/pelaku usaha yang didalamnya termuat persyaratan-persyaratan khusus dengan tujuan efektifitas waktu karena klausula-klausula tersebut sudah sering dipakai. Akan tetapi dalam kenyataannya seringkali menyalahi ketentuan umum yang berlaku karena seringkali ditemukan klausula baku yang menyangkut ganti rugi, pembebasan dari tanggungjawab atau menyangkut jaminan-jaminan tertentu. Karena yang membuat dan mempersiapkannya adalah pihak penjual/pelaku usaha, maka klausula baku tentu dibuat atas dasar yang lebih menguntungkan baginya.


Klausula Baku sendiri diartikan secara berbeda-beda. Mariam Darus Badarulzaman menyebutnya dengan klausul eksonerasi, sebagai terjemahan dari exoneratie clause. Remy Sjahdeini menyebutnya dengan istilah klausula eksemsi, sedangkan Barnes menyebutnya dengan istilah Exculpatory Clause. Exculpatory Clause menurut Barnes adalah “a provision in a contract that attempts to relieve one party to the contract from liability for the consequences of his or her own negligence”. Shidarta membedakan antara klausula baku dengan klausula eksonerasi yaitu bahwa, kalau dalam klausula baku, yang ditekankan adalah mengenai prosedur pembuatannya yang sepihak dan bukan mengenai isinya, sedangkan dalam hal eksonerasi yang dipersoalkan adalah menyangkut substansinya, yakni mengalihkan kewajiban atau tanggungjawab pelaku usaha. Terlepas dari istilah yang dipergunakan oleh para pakar hukum tersebut, klausula eksonerasi adalah klausula yang digunakan dengan tujuan pada dasarnya untuk membebaskan atau membatasi tanggungjawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya, dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam perjanjian tersebut. Menanggapi keberadaan klausula eksonerasi dalam hubungannya dengan perlindungan konsumen, Nik Ramlah Mahmood mengemukakan sebagai berikut Clauses in standard form contracts which exempt or limit a contracting party’s liability for certain breaches of the expressed or implied terms of the contract or for the commission of a tort, operate extremely harshly against, and to the detriment of, consumers. Such clauses are found at the back of tickets of public transport, on receipt and other types of standard form consumer contracts”. R.H.J. Engels menyebut adanya 3 (tiga) faktor dari perjanjian dengan klausula eksonerasi yaitu sebagai berikut :
a.   Tanggungjawab untuk akibat-akibat hukum, karena kurang baik dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban perjanjian.
b.  Kewajiban-kewajiban sendiri yang biasanya dibebankan kepada pihak untuk mana syarat dibuat, dibatasi atau dihapuskan (misalnya, perjanjian keadaan darurat).
c.  Kewajiban-kewajiban diciptakan (syarat-syarat pembebasan) oleh salah satu pihak dibebankan dengan memikulkan tanggungjawab yang lain yang mungkin ada untuk kerugian yang diderita pihak ketiga. 
Perjanjian eksonerasi yang membebaskan tanggungjawab seseorang pada akibat-akibat hukum yang terjadi karena kurangnya pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh perundang-undangan, antara lain tentang masalah gantirugi dalam hal perbuatan ingkar janji. Ganti rugi tidak dijalankan apabila persyaratan eksonerasi mencantumkan hal itu.
Pasal 18 ayat (1) khususnya yang menyangkut Huruf a tersebut di atas, telah diterapkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui suatu sengketa konsumen antara Anny R. Gultom dan Hontas Tambunan, konsumen sebagai Penggugat melawan PT Securindo Packatama Indonesia (Secure Parking), pelaku usaha sebagai Tergugat, dengan putusannya tanggal 26 Juni 2001 No. 551/Put.G/2000/PN Jkt.Pst. Klausula yang dibuat oleh Tergugat dalam karcis parkir adalah “Pihak Pengelola tidak bertangungjawab atas kehilangan, kerusakan, kecelakaan kendaraan atau barang-barang yang terdapat dalam kendaraan di areal parkir pihak pengelola”. Majelis Hakim yang diketuai oleh Andi Samsan Nganro berpendapat bahwa klausula tersebut merupakan perjanjian becacat hukum, karena timbul dari ketidakbebasan pihak yang menerima klausul, sebab ketika pengendara mobil memasuki areal parkir ia tidak mempunyai pilihan selain parkir di situ. Ini merupakan kesepakatan berat sebelah, karena kesepakatan itu diterima seolah-olah dalam keadaan terpaksa oleh pihak pengendara. Oleh karena usaha yang dikelola pihak Tergugat adalah jasa perparkiran yang besifat professional dan secure parking, maka sudah seharusnya berkewajiban menjaga keamanan atas kendaraan dalam areal perparkiran yang dikelolalanya. Hakim dalam putusannya tersebut menghukum Tergugat untuk memberikan gantirugi atas kehilangan kendaraan (Toyota Kijang) yang menimpa Penggugat di areal perparkiran yang dikelola oleh Tergugat di Plaza Cempaka Mas, Jakarta Pusat. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut, adalah sangat penting dan dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku usaha yang selalu menggunakan klausula baku sebagai bentuk pemanfaatan atau penylahgunaan keadaan, dimana konsumen berada dalam posisi tawar yang lemah vis a vis pelaku usaha. Putusan tersebut sangat kontras dengan apa yang sebenarnya hendak dicapai oleh pelaku usaha, dengan menggunakan klausula baku. Tak dapat dipungkiri, bahwa pelaku usaha dalam merumuskan klausula baku seperti itu, adalah bermaksud untuk mengalihkan tanggungjawabnya kepada orang lain, dalam hal ini konsumen. Atau, pelaku usaha setidak-tidaknya menghindarkan diri dari tanggungjawab untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen dalam hal konsumen menderita kehilangan kendaraan di areal parkir pelaku usaha. 
Memang, hukum yang baik harus pula dibarengi dengan penegakan hukum yang baik. Tidaklah ada artinya jika kita hanya mempunyai undang-undang yang baik dan modern serta demokratis, namun tidak terimplementasikan dalam praktik penegakan hukum. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan upaya perlindungan terhadap konsumen, kita membutuhkan undang-undang yang baik dan modern akan tetapi  yang lebih penting lagi adalah kita memerlukan aparat penegak hukum dan praktisi hukum yang baik pula.

Pada dasarnya Klausula Baku tidak dilarang sepanjang tidak melanggar ketentuan dari UUPK. Pelaku Usaha yang menggunakan klausula baku, disyaratkan agar letak dan bentuk klausula baku tersebut tidak sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, termasuk mengenai pengungkapannya agar tidak sulit dimengerti. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 18, diancam hukuman pidana penjara maksimum lima tahun atau pidana denda maksimum Rp. 2 miliar. Ketentuan ini diatur dalam pasal 62 ayat 1 yang menentukan “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000 (dua miliar rupiah). Sebaliknya, tentu saja pelaku usaha tidak dapat disalahkan atau dituntut bilamana pelaku usaha menggunakan klausula baku yang sesuai dengan ketentuan Pasal 18 UUPK tersebut. Nampaknya pembuat undang-undang bermaksud menciptakan kesetaraan dan keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen dalam kaitannya dengan pencantuman klausula baku tersebut, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak.

1 komentar:

  1. Sesungguhnya, semua ini telah kuperhatikan, semua ini telah kuperiksa, yakni bahwa orang-orang yang benar dan orang-orang yang berhikmat dan perbuatan-perbuatan mereka, baik kasih maupun kebencian, ada di tangan Allah; manusia tidak mengetahui apapun yang dihadapinya.
    Segala sesuatu sama bagi sekalian; nasib orang sama: baik orang yang benar maupun orang yang fasik, orang yang baik maupun orang yang jahat, orang yang tahir maupun orang yang najis, orang yang mempersembahkan korban maupun yang tidak mempersembahkan korban. Sebagaimana orang yang baik, begitu pula orang yang berdosa; sebagaimana orang yang bersumpah, begitu pula orang yang takut untuk bersumpah.
    Inilah yang celaka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari; nasib semua orang sama. Hati anak-anak manusiapun penuh dengan kejahatan, dan kebebalan ada dalam hati mereka seumur hidup, dan kemudian mereka menuju alam orang mati.

    Tetapi siapa yang termasuk orang hidup mempunyai harapan, karena anjing yang hidup lebih baik dari pada singa yang mati.
    Karena orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati, tetapi orang yang mati tak tahu apa-apa, tak ada upah lagi bagi mereka, bahkan kenangan kepada mereka sudah lenyap.
    Baik kasih mereka, maupun kebencian dan kecemburuan mereka sudah lama hilang, dan untuk selama-lamanya tak ada lagi bahagian mereka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari.
    Mari, makanlah rotimu dengan sukaria, dan minumlah anggurmu dengan hati yang senang, karena Allah sudah lama berkenan akan perbuatanmu.
    Biarlah selalu putih pakaianmu dan jangan tidak ada minyak di atas kepalamu.
    Nikmatilah hidup dengan isteri yang kaukasihi seumur hidupmu yang sia-sia, yang dikaruniakan TUHAN kepadamu di bawah matahari, karena itulah bahagianmu dalam hidup dan dalam usaha yang engkau lakukan dengan jerih payah di bawah matahari.
    Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi.
    Lagi aku melihat di bawah matahari bahwa kemenangan perlombaan bukan untuk yang cepat, dan keunggulan perjuangan bukan untuk yang kuat, juga roti bukan untuk yang berhikmat, kekayaan bukan untuk yang cerdas, dan karunia bukan untuk yang cerdik cendekia, karena waktu dan nasib dialami mereka semua.
    Karena manusia tidak mengetahui waktunya. Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba.

    BalasHapus